Oleh : H. Akhmad Jajuli
Sejak lahir hingga lulus SMP saya tinggal di Kampung Halaman (Kampung/Desa Cilangkahan, Kec. Malingping, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, sebelum tahun 2000 masuk ke wilayah Provinsi Jawa Barat).
Sangat banyak kenangan manis pada masa Kanak-kanak, Masa Anak-anak dan Masa Remaja di Kampung. Dan selalu terkenang hingga kini. Hal-hal itulah yang selalu menjadi alasan untuk Pulang Kampung tiap2 ada acara Keluarga, wabil khusus saat tiba masa Lebaran Idul Fitri meskipun kedua Orang Tua telah kembali ke rahmatullah.
Agar kami, yg masih kanak2, mau belajar berpuasa maka biasanya Orang Tuankami mejanjikan akan dibelikan baju baru, uang jajan yg banyak (dibanding hari2 biasa) dan dibuatkan Sate Daging Kebo (Kerbau) khusus bagian hatinya (ati). Janji-jandi itu jadi sesuatu banget. Kami jadi mulai rajin berpuasa : mulai dari Setengah Hari hingga Sehari Penuh. Hingga selanjutnya menjadi terbiasa. Cara seperti itu dalam Ilmu Psikologi disebut sebagai “Mengubah bentuk kegiatan yg semula berdasarkan Motivasi Ekstrinsik menjadi Motivasi Intrinsik.”
Saat tiba remaja kami biasa “Mapangge, mengumpulkan kayu2 yg masih hidup atau masih basah untuk dijadikan kayu bakar. Utamanya untuk manggang Sate saat Lebaran. Untuk kayu2 yg empuk ada Pongporang dan Jengjeng (Albasiah). Adapun untuk jenis yang keras ada Jati, Kihiang, dan kayu2 lainnya. Kayu2 itu disimpan di hutan atau di dekat Saung Sawah milik Orang Tua sendiri. Dan akan diambil beberapa hari menjelang tiba waktu Lebaran. Aman, tidak ada yg berani mengambil atau mencurinya.
Beranjak lebih remaja lagi sangat senang apabila dibelikan kain sarung (Samping Sarung), apalagi merk yg mahal. Zaman dulu itu kain merk Samarinda itu paling top. Belum mengenal merk BHS apalagi merk Tamer.
Ada juga yg khas di Banten Selatan (dan juga kemungkinan di daerah Banten lainnya) yaitu adanya hari “Poean Meuncit Kebo” sehari menjelang Idul Fitri. Kerbaunya hasil patungan (antara 40 – 100 Keluarga. Dibayar dicicil mulai bulan Haji/Dzulhijjah, 10 bulan. Harga Satu Tanding (Bagian) bergantung Harga Beli Kerbau. Agar tidak mahal maka Kerbau dibeli oleh Bandarnya (Ketua Kelompok Patungan) setahun sebelum Lebaran Idul Fitri tiba. Masing2 Tanding atau Peserta Patungan mendapatkan Daging Segar, Jeroan, hingga kulit kerbau. Kami selalu nonton saat Kerbau disembelih hingga dibagikan. Tradisi ini merupakan pertanda bahwa keesokan harinya akan tiba waktu Lebaran Idul Fitri — tanpa harus menunggu pengumuman resmi. Pada zaman dulu juga terjadi perbedaan awal dan akhir Puasa Ramadhan, namun lebarannya pasti berbarengan. Lebaran zaman dulu pasti ikut pengumuman Pemerintah
Malam Hari menjelang Takbiran biasa diadakan Riungan Lembur, Rasul Lembur, Sukuran, di Masjid (sekarang mah di Majelis Taklim).
Anak anak kebagian nasi dan ikan yang diatur oleh wargan yang sudah dewasa. Apabila berbaginya tidak rata atau tidak adil biasa dijuluki “Bagi Jaliur”. Akhir ahir ini mah masing masing ada yang kebagian dua sampai tiga baskom atau boboko bahkan bakul. Tidak ada lagi “dibagi-bagi” — termasuk untuk anak anak
Tibalah Malam Takbiran. Kami takbiran semalaman di masjid. Kalo sempat tertidur pasti jadi bahan mainan teman-teman yg suka iseng : sarungnya diikatkan dengan sarung temannya, atau mulut yg tidur itu dikasih (diwewelan) pisang atau dikasih garam (lalu ditanya siapa pacarnya). Atau terjadi lempar2an makanan (opak, ranginang, papais, pasung, bugis,
Seusai pulang Shalat Sunat Iedul Fitri di rumah sudah tersedia Panggang Gemblong (Uli, Ulen) plus Daging Kecapan (Semur). Terjadilah tradisi yg khas Banten (Selatan) : NYOCOL GEMBLONG – Gemblong Panggang “dicocokeun” ke dalam Semur Daging Kebo itu (belakangan ada juga yg pake menu Daging Sapi — malah daging Frozen/Buku).
Demikianlah sekelumit hidup di Kampung Halaman.
Mengingat harga daging yg cukup mahal (Daging Segar mencapai Rp 135.000,00 per Kg atau Daging Beku (Frozen) g mencapai Rp 120.000,0 per Kg) maka ada baiknya tradisi “Papatungan Daging” atau “Poean Meuncit Kebo” itu kembali dihidupkan — khususnya bagi warga masyarakat Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Apabila tiap tiap Desa (ada 340 Desa + 5 Kelurahan) di Kabupaten Lebak membutuhkan minimum 5 (lima) ekor maka tiap tahun dibutuhkan minimum 2.000 Ekor Kerbau. Tentu saja ini bukan jumlah yg kecil — dan juga akan menggairahkan usaha peternakan Kerbau di Kabupaten Lebak.
(Penulis adalah Warga Banten Asal Kampung/Desa Cilangkahan, Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak).