Kabupaten Bekasi – Penelitian ini mengkaji dan membahas tentang penalaran hukum mengenai Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat yang berkaitan dengan Pasal 10 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Advokat berhenti atau dapat diberhentikan dari profesinya secara tetap karena alasan: a. permohonan sendiri; b. dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 4 (empat) tahun atau lebih; atau c. berdasarkan keputusan Organisasi Advokat”. Pasal tersebut menegaskan mengenai keberadaan kode etik profesi advokat yang sangat penting untuk menjaga martabat Advokat dalam berpraktik atau beracara, sehingga Advokat tidak keluar dari nilai-nilai profesi yang telah diatur dan dituangkan dalam Undang-Undang Advokat.
Hal yang paling mudah dilihat dari langkah awal Advokat yaitu saat penyumpahan dan pelantikan Advokat yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi dan Organisasi Advokat. Namun Langkah awal ini banyak sekali Masyarakat kita yang paham aturan namun melupakan ketentuan yang berlaku atau pura-pura menjadi awam ukum bahwa Advokat di Indonesia menganut sistem singlebar. Organisasi Advokat yang sudah semakin banyak dan merajalela hingga mencapai ratusan Organisasi Advokat yang tidak hadir dalam perintah Undang-Undang Advokat dapat melakukan Upaya pelantikan dan penyumpahan di Pengadilan Tinggi, bahkan hal tersebut semakin menjadi hal yang lumrah. Padahal ketika dikaji berdasarkan ketentuan yang berlaku, Pelantikan di luar Organisasi Advokat yang diatur dalam Undang-Undang, merupakan bentuk dari pelaksanaan di luar koridor Undang-Undang Nomor 18 tentang Advokat yang telah disahkan oleh Negara.
Fakta di atas yang menyatakan bagaimana Organisasi Advokat yang semakin banyak di Masyarakat akibat terbitnya SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 73 tahun 2015 yang memerintahkan kepada ketua pengadilan tinggi seluruh Indonesia untuk mengambil Sumpah Advokat, yang pada hakikatnya adalah janji seorang yang akan menjalani profesi sebagai advokat dengan tujuan baik agar advokat bisa bersaing secara sehat dan profesional. Namun SEMA tersebut mengakibatkan banyaknya Advokat yang tidak sesuai mutu dan standar yang diamanahkan oleh Undang-Undang Advokat, praktiknya banyak Advokat berjamuran dan tidak mempunyai kualitas.
Problematika tersebut sepatutnya menjadi problem Negara, melihat adanya produk hukum yang dikeluarkan oleh Legislatif dan disetujui oleh Presiden. Maka Negara tidak bisa menutup mata akibat kualitas Advokat yang semakin tahun semakin menurun akibat beberapa proses untuk menjadi Advokat tidak dilaksanakan sebagaimana semestinya, seperti melaksanakan magang dua tahun sesuai aturan yang tertulis dalam undang-undang advokat. Faktanya Surat Keterangan Magang kian banyak dalam praktiknya dijual-belikan oleh kantor hukum bahkan hanya di buat-buat secara Cuma-Cuma tidak berdasarkan fakta.
Tujuan Advokat hadir untuk membela dan mendampingi para pencari keadilan khususnya masyarakat yang tidak mampu, namun semenjak organisasi advokat mengalami perpecahan akibatnya banyaknya advokat yang melakukan pelangaran Kode Etik bahkan melakukan tindak pidana. Namun praktiknya, banyak mantan terpidana yang masih bisa melaksanakan dan menjalani profesi Advokat dengan dalil telah keluar dari organisasi advokat sebelumnya. Melihat implementasi Undang-Undang Advokat yang semakin dipermainkan oleh beberapa oknum seperti itu dengan pindah dari satu organisasi ke organisasi yang lain dengan dalil untuk kepentingan pribadi, tentu mencoret nama baik profesi Advokat yang dianggap sebagai ” Officium nobile” yang mengandung arti adanya kewajiban yang mulia atau yang terpandang dalam melaksanakan pekerjaan sebagai Advokat yang tertuang dalam Pembukaan Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) tahun 2002. (Dr.Weldy Jevis Saleh, SH., MH — Dewan Pengawas DPC AWIBB Bekasi Raya).
Sumber : Dewan Pengawas DPC AWIBB Bekasi Raya
Posbakum : aliansiwartawanbekasiraya@gmail.com